Sertifikasi-Lulus Kuliah ternyata di anggap tidak cukup kompeten bagi mahasiswa sehingga mereka diwajibkan memiliki sertifikat komptensi pendamping. Di sisi lain budaya pajang gelar sertifikasi yang panjang di anggap merasa keren dan hebat, sehingga hal ini menjadi peluang baru bagi yang melek bisnis. Banyak juga organisasi profesi berlomba membuat banyak ragam sertifikasi yang di jual, dan banyak juga berlomba-lomba membuat lembaga sertifikasi jalur BNSP walau tidak mudah memenuhi syaratnya tapi animo tetap tinggi.
Dasar hukum Sertifikasi Kompetensi Kerja di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Peraturan ini diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6), serta Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sistem Standardisasi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, di antaranya, mengatur tentang pengakuan kompetensi kerja melalui sertifikasi kompetensi kerja, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18, yang menyatakan:
a. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
b. Pengakuan kompetensi kerja dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
c. Sertifikasi kompetensi kerja juga dapat diikuti oleh tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman.
d. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja, dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang independen.
e. Pembentukan BNSP yang independen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja. Pengakuan kompetensi tersebut dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja, dan untuk melaksanakan sertifikasi tersebut, dibentuk BNSP yang independen. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pemerintah, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004, membentuk BNSP.
Namun, dalam 10 tahun terakhir, Indonesia menjadi target pasar dari sertifikasi profesi asing yang dijual tanpa pengakuan dan kurasi oleh Pemerintah, khususnya BNSP, sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab. Sertifikasi ini dijual dengan harga yang sangat mahal, dalam satuan dolar, dan cara perolehannya sangat mudah, bahkan tanpa saringan mutu kelayakan, seolah-olah hanya menjual selembar kertas pengakuan. Hal ini berpotensi menyebabkan kebocoran uang keluar negeri dalam jumlah besar, dan para penyelenggara ini tidak memiliki izin resmi di Indonesia untuk melakukan aktivitas penjualan sertifikasi. Sebagian dari mereka menggunakan tenaga penjual dari Indonesia atau bekerjasama dengan perguruan tinggi sebagai agen penjual. Dalam proses pelaksanaannya, sertifikasi-sertifikasi ini tidak mengikuti standar mutu yang telah ditentukan oleh BNSP. Untuk itu, pemerintah seharusnya sudah mulai membuat aturan untuk merapikan sertifikasi-sertifikasi asing yang bermunculan dan menjadikan Indonesia sebagai pasarnya supaya mutu tenaga kerja Indonesia ini buka label gelar akan tetapi berbasis kompetensi nyata.